Winata, Adikku.
Ini Kakakmu, sedang sendiri di Purwakarta. Sedang tiba-tiba inget kamu. Inget puisi yang kamu bikin beberapa tahun silam. Puisi yang kamu bikin untuk tugas PR sekolahmu. Kamu bikin sendiri dan kemudian kamu kasih Kakak lihat.
Kakak ketawa membaca puisimu itu, Kakakmu yang lain juga sama ketawa ya. Lalu Kakak bilang ke kamu dan juga kepada Kakakmu yang lain: “Ini Puisi”. Puisi yang bagus, pasti dapat nilai bagus. Lalu kamu senang atau Kakak lihat kamu seperti senang.
Wahai Winata, seandainya kamu bisa membaca perasaan orang, pada saat itu Kakak sangat sedang terpesona oleh puisimu. Bukan karena Kakak sebagai Kakakmu, bahkan jika yang bikin puisinya adik musuh Kakak, Kakak juga akan dirundung perasaan yang sama.
Lalu kamu simpan buku yang ada puisimu itu, ke dalam tas sekolahmu. Kamu tidur lekas-lekas. Tidur dengan seolah-olah berharap pagi bisa lekas akan datang, karena ingin segera pergi sekolah, untuk segera kamu perlihatkan puisimu itu kepada gurumu. Guru Bahasa Indonesiamu. Ini Kakak tulis lagi puisimu di sini:
AYAMKU.
Aku punya ayam lima.
Yang satu betina
Yang satu lagi jantan
Yang satu lagi digoreng
Yang satu lagi ulang tahun
Yang satu lagi sedang flu.
Sekarang Kakak di sini, di tempat Kakak harus menunggu kawan Kakak yang janji jumpa. Kakak sedang ketawa tetapi juga sekaligus sedih. Ketawa, karena Kakak terkenang kembali akan kalimat puisimu. Sedih, karena Kakak tahu ternyata puisi kamu dapat nilai lima setengah. Continue reading “Winata, Adikku.”