MenDus-Tai

Tadi itu masih pagi, pukul sembilan. Istri saya sudah nyuruh saya lagi. Dia memang gitu. Suka nyuruh-nyuruh dan anehnya saya senang, karena dengan begitu, berasa betul jadi suami yang manfaat dan bisa diandalkan. Kepake banget!

Kepake untuk banyak keperluan. Ya termasuk disuruh-suruh. Disuruh nyari uang. Disuruh nganter ke super market (maksudnya jadi sopir)

“Umi, kalau Abi jadi sopir Umi terus, nanti Abi gak merhatiin Umi, lho?”

“Kenapa gitu?”

“Kan, kalau sopir mah harus merhatiin jalan.”

“Gak apa-apa, deh.”

Oh, dia juga suka nyuruh saya pulang untuk jangan malem-malem, tapi itu dulu, sekarang sudah enggak karena sudah bisa nyuruh si Diya, anak kami untuk menyuruh saya pulang.

Selagi nulis ini, saya kepikir mau nyampein unek-unek. Khususnya ke POLMAN ITB, kampus saya dulu. Kau memang memberi saya ilmu dan banyak hal lain yang tak bisa dikatakan. Tapi maaf, kalau saya malah berterima kasih ke UNAND, karena sudah memberi saya istri. POLMAN ITB ngasih gak?! Perguruan tinggi lain juga enggak. Pelit. Cuma UNAND.

Kadang-kadang, apa sih yang harus saya banggakan dengan menjadi alumni POLMAN ITB, kalau nyatanya masih juga dipalak oleh anak balita, yaitu si Diya dan si Haikal. Sia-sia rasanya.

Dan rumah, kau tahu, terus terang aja, ya, lebih dikuasai UNAND. Kau tahu siapa yang menentukan interior rumah saya? UNAND! Memang tidak langsung oleh UNAND, melainkan diwakili istri saya, tapi saya merasa hal itu sama saja.

Ah, sudahlah. Pokoknya, Hidup UNAND!

Kembali ke pokok yang mau saya ceritakan. Politeknik Manufaktur Intitut Teknologi Bandung, siapa yang kentut diberi hidung supaya dia juga bisa mencium hasil karyanya. Hari sudah sore ketika saya disana. Bukan saya di sana, tapi saya kesana. Kembali ke POLMAN ITB bukan untuk kuliah. Saya sudah lulus.

Saya pergi ke kampus di jalan kanayakan itu karena jujur saja saya gak tahu kenapa saya pergi kesana. Tapi terserah saya sih, mau ke sana atau tidak. Kendaraan, kendaraan saya. Bensin, bensin Pertamina. Bebas toh, kemana saya mau perg?

Kendaraan memasuki gerbang kampus yang ada pos satpamnya. Mau tahu tidak soal pos satpam itu? Dulu selagi saya kuliah, bentuk pos satpamnya tidak sama dengan yang kini ada. Dulu seperti apa ya, oh ya seperti pom bensin, apalagi bagian atasnya dihiasi oleh lampu-lampu kecil yang dipasang dalam rangka menyambut Hari Indonesia Emas yang kami pelesetkan menjadi Indonesia Cemas. Jadi saya bisa naik motor malam-malam dan berhenti di sana dengan menggunakan helm fullface yang sengaja tidak dibuka dan bilang kepada satpam yang sedang jaga, “Dua liter, Pak!” setelah satpam kaget dan tahu itu saya, dia ketawa. Kenapa ketawa? Ya itu dia, karena kami sudah saling kenal.

Sekarang saya dating ke sana lagi. Kendaraan yang saya bawa, berhenti tepat di depan pos satpam itu.

“Weih, Bos!” kata salah seorang satpam

“Kenapa ini?” teriak saya

“Apa, Bos?”

“ini pas saya tinggalin jadi banyak tahi burung nya?”

“Iya nih, Bos. Jadi banyak tahi burungnya!”

Pada saat itu, POLMAN ITB memang sedang diserang oleh pasukan burung, membuat POLMAN ITB menjadi Abrahah. Nama burungnya blekok yang terdengar seperti Black Hawk pada bertengger diranting pohon-pohon tua yang banyak tumbuh disepanjang jalan Kanayakan itu. Setiap mobil yang ada di bawahnya akan dikenai tahi burung yang berwarna putih agak abu-abu. Burung-burung itu seperti sengaja memberaki mobil dibawahnya sebagai ekspresi kejengkelan mereka terhadap pekembangan teknologi yang lebih berpihak pada ambisi manusia.

“Polos Manja Institut Tahi Burung dong, kalau gini namanya!”

“Hahahaha, bisa aja si Bos!”

“Ya bisalah, kan kuliah.”

“Bos, kepinggir dulu. Ada yang mau masuk!”

“Siapa?”

“Biasaaaa!”

“Bilang saya alumni gitu!”

“Hehehe, maju aja, Bos!”

“Ya, udah.”

Kendaraan segera saya bikin maju. Masuk dan berhenti disana. Di mana coba? Di sana, pinggir jalan, di depan gedung Jurusan Mechatronica. Di bawah pohon apa namanya yang sudah tua dan merambati gerbang kampus itu. Saya turun dan mendatangi mereka.

“Wah, si Bos euy, ke mana aja?” tanya salah satu dari mereka.

“Biasa, menyebarkan agama!” Satu per satu saya salamin. Ada empat satpam, satu orang lagi tidak saya kenal karena dia satpam baru. Saya kenal baik dengan mereka disebabkan oleh kisah yang kami lalui bersama yang kalau semuanya di ceritakan akan berbahaya bagi ketentraman saya sebagai Warga Negara Indonesia.

Walau saya masih kuliah, mereka masih mejadi satpam. Sekarang saya sudah menjadi Bos sebagaimana mereka menyebut saya begitu, tetapi mereka tetap saja menjadi satpam sampai sekarang. Tidak apa-apa, yang paling penting adalah menjadi manusia yang baik dan bernafas.

“Ini, saya mau nitip mobil, Pak, “kata saya.

“Mau kemana gitu, Bos?”

“Mau ke Belanda.”

“Hah? Lama?”

“Dua Tahun, Pak”

“Atuh kalau gitu mah aman di rumah, Bos!”

“Di rumah siapa?”

“Rumah Bos, atuh!”

“Oh iya. Ide bagus. Nggak kepikir sama saya euy. Aman di rumah dari pada di sini. Bener!”

“Bukan, Bos. Bukan di sini gak aman. Di sini aman. Kalau disimpen di rumah, kan si Bos-nya bisa tenang.”

“Eh, ngapain di gerbang itu ada tulisan Politeknik Manufaktur Institut Teknologi Bandung-nya?” tanya saya

“Mana, Bos?”

“Itu!” saya menunjuk ke monument yang ada di depan gerbang pintu masuk.

“Oh, itu!”

“Kan, orang sudah tau ini POLMAN ITB. Ngapain dikasih tahu lagi?”

“Gak tahulah, Bos. Ke mana aja si Bos, nih?”

“Kemarin, si Iweng ke sini,”kata satpam satunya lagi memberi info. Aneh, sudah lama saya kenal, tapi saya tak tahu nama mereka. Pasti ada tertulis namanya di seragam. Maksud saya, saya mendadak lupa pada saat saya mau menulisnya disini. Saya pasti lupa karena saya lebih folus inget Allah dan password. Selama ngobrol itu, ada salah seorang satpam yang memberi kartu tanda masuk kepada setiap mobil yang masuk.

Saya kesini mau jum’atan di Rupantama.” Maksud saya di masjid POLMAN ITB.

Sekarang mah, Minggu, Bos!”

“Iyalah, Jum’at depan. Sekarang, saya mau survei dulu tempat.”

“Si Bos mah!”

“Beneran! Saya harus survei dulu. Biar nanti shalatnya khusyuk.”

“Wah, bener!”

Pak Rektor POLMAN ITB yang terhormat, kemudian ambil uang dari dalam kantong celana saya. Saya kasih mereka uang, yaitu uang asli. Itu tidak ada sangkut pautnya dengan saya sebagai seorang alumni yang merasa kasihan pada mereka.

Juga tidak ada sangkut pautnya dengna saya yang merasa mendapat perlakuan istimewa dari mereka setiap kali saya dating ke kampus di saat orang lain tidak bisa seenaknya masuk kampus dengan mobil container. Saya kasih mereka uang, ya karena saya merasa ingin ngasih aja. Saya kasih uang, ya karena saya punya uang. Cuma itu. Kalua enggak punya uang, ya gak akan ngasih. Paling cuma bisa ngasih mereka sayang.

“Nih, Pak, buat jajan!”

“Wah makasih banyak, Bos!”

Sebuah mobil masuk dan berhenti di sana, yaitu di depan mobil saya.

“Siapa itu, Pak? Saya nanya.

“Palingan yang mau ke aula barat.” Aula barat adalah salah satu gedung yang ada di POLMAN ITB. Letaknya hanya beberapa meter dari gerbang kampus.

“Oh.”

“Kerja dimana sekarang, Bos?”

“Bisnis, Pak. Biro Penelitian dan Budidaya Anakonda.”

“Ular?” pertanyaan itu seolah-olah muncul dari rasa heran kepada alumni Foundry POLMAN ITB, tapi akhirnya beternak ular. Ya, gak apa-apa kalau suka. Gak kerja juga gak apa-apa. Kampus kan, biro tenaga kerja, tidak menjamin mahasiswanya dapat kerja. Kampus hanya menjamin mahasiswanya mendapatkan ilmu dan ijazah, setelah itu terserah ada.

“iya, Ular anaconda. Biasalah. Eh, saya mau pulang dulu, ah!” kata saya

“Okelah, Bos!”

Saya pergi ke tempat mobil saya diparkir. Saya melihat mobil yang tadi masuk itu persis didepan mobil saya. Memang begitu posisi parkirnya, memanjang, bukan berbaris bersampingan. Lagian, itu memang bukan tempat parkir. Tapi, mobil yang berani parkir di situ biasanya penduduk POLMAN ITB yang tahu bahwa parkir di situ gak apa-apa kalua cuma sebentar. Saya balik lagi ke sana, menemui kawan-kawan satpam.

“Pak, ada yang bisa bantu mundurin mobil?”

“Kenapa gitu, Bos?”

“Saya gak bisa mundur!”

“Masa’, Bos?”

“Bukan ga bisa. Gak mau. Kan, saya demonstran, Bapak. Saya masa’ mundur?”

“Si Sani. San, bisa mundurin mobil si Bos? Bapak satpam nanya kepada rekannya, yang juga satpam. Oh, satpam baru itu namanya Sani.

“Didorong, Bos?” tanya Pak Sani.

“Eh, Bukan! Dimundurin gitu. Ini kuncinya.” Pak sani mengambil kunci dan bersama saya pergi ke mobil. Ronny, singkatkan ceritamu. Baiklah! Pak sani memundurkan mobil untuk sedikit menjauh dari mobil yang parkir didepan mobil saya sekadar untuk mendapat cukup lorong sehingga mobil bisa maju, hanya mundur beberapa meter.

“Udah, Pak, segini aja. Cukup!”

“Sip, Bos!” katanya sambal tersenyum.

“Anu… saya kan, dulu demonstran. Gak biasa mundur laaaah.” Kata saya kepada Pak Sani bagai berbisik, “Maju terus pantang mundur!”

“He he he iya. Leres!” katanya. Padahal aslinya, dulu saya ikutan demo lebih karena tertarik ingin berfoto bersama kawan-kawan. Berfoto di depan kendaraan tank baja atau mobil water cannon polisi. Berfoto dengan pose sedang menghadang mobil polisi. Iya, seperti mahasiswa china di Tiananmen yang hebat, berani menghadang tank baja. Tangan diacung ke angkasa. Insya Allah, nanti kalau melihat foto itu, anak cucu kami akan bilang: “Wow keren, kakek dulu mahasiswa pemberani!” Aamiin!

Saya ambil alih kemudi. Mobil saya putar balik agar dengan itu bisa keluar dari kampus. Mobil maju, kemudian berhenti lagi, tepat di depan pos satpam.

“Pak, salah! Tadi itu bukan budidaya anaconda!”

“Oh.”

“Tapi, Budidaya lele septitank.”

“Beres, Bos”

“Okey, ya, Pak!”

“Oke. Oke, Bos!”

Ngeeeng… mobil keluar dari kampus, nyatanya bukan pergi, tapi balik lagi masuk kampus.

“Bapak, lupaaa! Tadi, saya mau ke Foundry.”

“Eh, atuh. Ya, silakan Bos!”

Mobil masuk. Parkir depan gedung Pattern. Ada empat mahasiswa yang sedang main skateboard dijalan kampus.

“Kang Ronny!”

“Dasar anak muda, nih!” kata saya pada mereka.

“Refreshing, Kang!”

“Lihat mertua saya, gak?”

“Ha ha ha.”

“Ye, Malah ketawa. Serius. Lihat enggak?

“Enggak, Kang?”

“Coba pinjem spidol. Ada gak?”

“Spidol?” tanya dia. Si Rambut Rasta.

“Iya.”

“Di tas.” Dia bilang begitu sambil pergi mengambil tasnya yang disimpan di atas trotoar jalan.

“Sama kertasnya, ya!” kata saya dengan sedikit teriak.

“Sip!” Dia kembali membawa kertas, juga spidol. Di atas kertas itulah, saya nulis: BAGI YANG MERASA JADI MERTUA RONNY, DISURUH TUNGGU DI SINI.

“Nah, kalua ada orang lewat kamu acungin ini, ya?

“Ha ha ha.”

“Yeee, Serius! Penting. Upahnya nanti saya kasih kalender porno”

“Ha ha ha.”

“Kamu mah ketawa terus. Beneran. Tolong, ya!”

“Iyalah, Kang. Met, kamu pegang ya?” kata dia kepada temannya yang dipanggil Met.

“Sama kamu aja,” jawab orang yang dipanggil Met.

“Duh, euy!”

“Yei, sama senior harus mau. Nanti kan, dikasih kalender porno. Tapi bagian pentingnya sudah saya corat-coret, sih!”

“Ha ha ha.”

“Udah ah, ya, saya mau cari ke dalam! Nanti, saya balik lagi, sebentar!”

Saya masuk ke dalam gedung Foundry. Itu bangunan adalah tempat dulu saya pernah ada. Tempat dulu saya masih seksi. Di belakangnya, ada lapangan yang diberinya nama Lapang Merah.itu adalah lapangan yang ada di tengah-tengah turunan gedung. Dibangun dari bahan semen dan dikasih warna merah. Di sanalah, dulu, saya bersama teman-teman suka bikin aneka macam kegiatan. Tapi sekarang, setidaknya sore itu, sedang sepi. Katanya, kata teman alumni yang kena penyakit post power syndrome: kampus memang selalu begitu setiap hari. Selalu saja sepi. Kampus sekarang beda dengan zaman kita. Dulu itu, sangat seru. Dulu itu semarak dengan banyak acara. Sekarang kampus banyak sepinya. Mungkin gara-gara adanya batas masa kuliah yang harus selesai tidak boileh lebih dari tiga tahun. Tiga tahun harus lulus. Mahasiswa jadi tidak bisa lagi macam-macam. Mahasiswa sudah tidak boleh lagi macam-macam. Harus hanya ada satu macam, seragam semua.

Tiba-tiba, muncul si Hayam. Dia adalah teman saya. Dia tidak lulus, dia di-drop out. Dia senior saya. Masih terus tinggal dikampus. Orangnya baik seandainya benar dia orang yang baik.

“Yam!” saya pangggil dia

“Weih, Ron. Aya naon euy?

“Ulin weh”

“Oh.”

“Di kampus terus, Yam?”

“Ya biasalah!” duduk dia setelah selesai minum air keran dari salah satu tempat air keran yang layak diminum langsung.

“Ron, can dahar euy.”

“Ah, masa’ ga punya uang?”

“Ada uang mah, Ron, belum cair”

“Oh.”

“Saya lagi nunggu kiriman uang 2 milyas. Belum cair.”

Kamu pikir dia sedang bercanda ya? Oh, tentu tidak! Kamu pikir kami sedang melawak ya? Oh, tentu tidak. Dia serius. Saya juga sama, serius. Kamu hanya harus menjadi bagian dari kami dulu supaya bisa mengerti bahwa kami sedang serius dan bisa kamu maklumi. Saya sendiri sebenarnya tidak percaya bahwa saya percaya dengan apa yang dikatakannya. Jadinya, ya itu dia, jadi ngomong terus. Katanya uang itu benar-benar ada dan akan ditransfer ke dia, entah dari siapa.

“Kenapa ga bisa cair?”

“Biasa, ada yang ganggu. Ada yang nyantet, Ron!”

Kami merasa sedang tidak ditonton oleh siapa pun, bagaimana mungkin saya dan dia bisa kamu anggap sedang melawak?

“Oh, siapa yang nyantet, Yam?

“Enggak boleh saya senang.”

“Siapa?”

“Ada, lah. Orang Jurusan.”

“Oh.”

“Nih, lihat, tangan saya jadi begini! Udah rusak saya, Ron.”

“Kenapa itu, Yam?”

“Ya, disantet” tangan kirinya membuka sedikit bagian kaosnya. Tangan yang satunya lagi dipake menunjuk bagian tulang rusuknya:

“Tulang rusuk ini sudah keropos, Ron! Saya sih, tinggal nunggu datangnya Bunda Maria, Ron!”

“Oh.”

“Nanti, dia datang pake kuda!”

“Kuda?”

“Iya. Kuda.”

“Kuda Buroq?”

“Bukan! Itu mah Islam!”

“Apa?”

“Pegasus!”

“Oh. Ya, ya, ya!”

“Yam, saya mau kesana dulu, ya?

“Ron, can dahar euy? Sabaraha weh.”

“Tenang.” Saya kasih dia uang. Hayam juga dulu pernah ngasih saya uang, seribu. Uang seribu itu dia kasih ke saya karena katanya nomor seri yang ada di uang itu adalah angka keberuntungan buat saya.

“Kalem, Yam! Kalau Pegasus belum datang, masih ada saya!”

“Nuhun, Ron! Di antara nu lain, manehlah nu paling bageur, Ron.” Tentu saja kamu tahu dia juga akan mengatakan yang sama ke orang lain yang ngasih uang ke dia.

Demikian si Hayam. Kalau kamu mendadak ingat kepada Hayam Wuruk, dia tidak bisa disamakan dengannya. Hayam Wuruk ada di masa lalu, Hayam teman saya ada dimasa kini. Dengan membandingkan antara Hayam Wuruk dan Hayam teman saya ini. Menurutmu apakah ini karena kemajuan atau kemunduran? Menurut saya, kemajuan karena Hayam kawan saya ini berada dimasa depannya Hayam Wuruk dan punya HP pula.

Sebenarnya, bukan itu yang ingin saya bahas, saya ingin bilang bahwa si Hayam itu hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak mahasiswa Foundry POLMAN ITB yang karakternya beraneka macam. Dulu, disini, saya bisa dengna mudah mendapat bukti bahwa setiap orang yang ada dikampus ini punya karakternya sendiri. Punya macamnya sendiri. Punya jenisnya sendiri. Masing-masing tumbuh menjadi dirinya sendiri. Jangan dinilai apakah baik atau tidak keadaan dirinya itu, lebih baik kamu nikmati saja bahwa alangkah serunya keadaan seperti itu.

Habis dari si Hayam, saya pergi kesana untuk bertemu dengan si Isan di ruang dosen. Saya diskusi dengannya seputar rencana mau ngadain kegiatan sambil minum kopi dan tidak boleh merokok. Diskusinya cuma sebentar karena tidak ada perdebatan, juga karena sayanya yang buru-buru harus pergi. Oke, katanya. Ya udah oke, maka saya pun pergi.

Saya keluar dari POLMAN ITB sebagai orang yang akan kembali ke mobil saya dan sekalian menemui anak-anak yang tadi sedang bermain skateboard. Nyatanya, mereka sudah kabur. Sudah pada pulang dan bisa segera saya tuduh: mereka melarikan diri dari tugas: mencari mertua saya. Ya, sudah, saya juga mau pulang. Lagian hari mulai akan senja.

Coba kamu lihat, sebentar saja, siluet aneka ranting pohon itu. Ranting-ranting pohon tu itu. Ya benar, itu seperti cakar monster yang sedang diacung ke sana, ke langit, ke angkasa raya. Di bawahnya, ada banyak daun kering berwarna kuning setelah sebelumnya melayang pasti berguguran dan bagus seperti kupu-kupu

Oh, jalan kanayakan dengan segala unsur yang ada bersamamu, engkau sedang kembali menggerus perasaan saya! Membawa saya kembali ingat akan masa-masa saya dulu selagi masih kuliah yang kini indah dikenang, tapi belum tentu sama indahnya pada saat dulu mengalaminya.

 

 

Leave a comment