Nurul Yaqin Rolling Stones (II)

 

Itulah mesjid, selain menjadi tempat shalat, adalah juga tempat anak-anak bisa merasa senang dan ramai untuk berkumpul bersama teman-teman. Bahagia rasanya bisa pergi ke sana setiap menjelang akan magrib.

 

Lebih lagi kalau sudah ramadhan, mesjid jadi lebih rame lagi.  Dulu, selama bulan ramadhan kegiatan sekolah diliburkan. Biasanya kami dikasih ijin oleh orangtua untuk tidur di mesjid. Untuk tidur bersama teman-teman.

 

Menjelang sahur, nanti bangun, untuk rame-rame keliling kampung. Membangunkan manusia, dan juga binatang karena berisik oleh ember atau kaleng yang kami pukulin. Kami lakukan sambil menyanyi dengan suara yang keras. Lagunya bebas, setiap hari selalu berganti syair:

“Bang Ajid, baaaangun, Bang Ajiiiiid!!!”. Itu kalau kami sedang tepat berada di depan rumah Bang Ajid.

“Bang Muston jangan!”.

“Ha ha ha”

“Pak Eri banguunn, Pak Eriiiiii! Katanya mau tidur!”

“Ha ha ha”

 

Pokoknya tidur di mesjid itu asik. Sebelum tidur bisa ngobrol-ngobrol dulu, atau pernah menggotong si Dedi yang sudah tidur duluan, untuk dipindah ke tempat lain.

Sayang sekali pas lagi diangkat, si Dedinya keburu bangun. Harusnya jangan, biar ketika bangun, dia kaget, karena berada di dalam keranda mayat.

 

Berharap dengan itu, si Dedi nanti akan cerita bahwa dia pernah dipindahkan tidurnya oleh  jin, dan juga menyesal karena berani tidur di mesjid tidak baca-baca dulu, tidak mengingat Allah dulu, melainkan malah mengingat si Dila anak Bu Kandar.

 

Tiap habis shalat taraweh, sekitar jam delapanan, biasanya anak-anak akan masih main di luar. Main apa saja, bebas. Main petak umpet, main remi, atau apa saja. Itu bisa, karena selama bulan ramadhan, sekolah diliburkan. Dan  jaman dulu mobil belum banyak. Jalanan juga masih lengang. Masih sunyi.

 

Malam itu saya ikutan bermain petak umpet dan kebagian jadi “kucing”. Saya jongkok, sambil menutup muka saya dengan kedua belah tangan, membiarkan mereka lari nyari tempat sembunyi. Setelah itu, saya pulang.

 

Seandainya harus dicari, padahal saya tahu, mereka biasanya akan sembunyi di balik pohon, di samping rumah, di balik drum minyak tanah milik toko Bunbun, dan di tempat lainnya yang dianggap baik untuk sembunyi. Iya. Tapi sayanya ngantuk. Jadi pulang aja.

 

Enggak langsung tidur sih, baca buku dulu. Mereka pasti bingung, kenapa tidak juga dicari. Mau keluar, takut nanti ada “kucing”. Mau terus sembunyi, tapi lama sekali. Iya lama sekali. Entah sampai kapan akhirnya mereka sadar si “kucing” desersi. Saya gak tahu karena sayanya sudah tidur.

Continue reading “Nurul Yaqin Rolling Stones (II)”

Nurul Yaqin Rolling Stones

Waktu itu saya masih SMP. Seperti biasa, menjelang magrib, pergi ke mesjid, berkumpul di tengah mesjid, agak deket dengan mimbar, mengerumuni microfon untuk mengumandangkan puja-puji kepada Allah. Ada si Aldian, ada si Afud, ada si Wildan dan lain-lain sebagainya.

“Allah pasti bilang: Berisik!”

“Kenapa?”

“Kan Allah Maha Mendengar, ditambah pake speaker”

“Iya sih”

Tapi dengan speaker, rasanya seperti keren. Suara kami tidak cuma didenger oleh Allah, tapi juga oleh semua mahluk yang ada di dunia! Termasuk oleh Ibu. Termasuk oleh Ayah. Termasuk oleh orang yang sedang sakit gigi.

“Ibu denger aku enggak? Tadi, di speaker mesjid?”

“Denger. Iya, harus begitu”

“He he he. Bukan!”

“Denger apa?”

“Tadi aku teriak: “Tek Roih minta uang!”. Denger enggak?”

“Kamu ini!”

Tek Roih itu tetangga rumah saya. Nanti deh saya cerita tentang Tek Roih. Sekarang saya mau cerita tentang mas Oki dulu mumpung masih senggang.

Jaman itu, mas Oki masih muda, tapi usianya jauh lebih tua dari kami. Sudah tamat SMA tapi tidak kuliah dan rambutnya ikal. Suka ada di mesjid kalau sedang tidak ikut bapaknya jualan beras di pasar.

 

Di mesjid, dia suka mukul bedug sebelum adzan. Juga suka ngejemur karpet mesjid setiap hari kamis. Dia itu apa ya? Dia itu manusia dan anggota DKM, Dewan Kebersihan Mesjid, tapi dulu istilahnya bukan DKM, entah apa.

 

Pokoknya saya suka menyebut si mas Oki itu dengan sebutan Ikan mas Oki. Keren kan? Kedenger jadi seperti Ikan Mas Koki. Saya ngomongnya cuma ke teman, mas Oki jangan sampai tahu, nanti dia marah.

 

Suatu hari Continue reading “Nurul Yaqin Rolling Stones”